Sunday, September 15, 2013

::



   

Sepucuk Harapan






  Disini aku berperan sebagai Narator, kau tahu, kan? Maksud dari Narator? Tapi, aku bukan Narator asli, aku memakai kata Narator untuk menyembunyikan identitasku, mengerti? Aku adalah saksi hidup dalam perjalanan cerita cinta yang satu ini, cerita yang begitu sulit dan begitu rumit. Sampai aku sendiripun tidak mengerti, kemana cerita ini akan bermuara… Maka, izinkan aku bercerita…
  
 Udara dingin menyeruak ganas memasuki kamar dan mengisi setiap sudut kamar Winna, Winna ini adalah sahabatku, semenjak kelas sepuluh SMA. Keganasan udara dingin itu, membuat Winna terbangun dari tidur lelapnya selama berjam-jam…  Sedikit tersadar ditengah-tengah kesadaran yang belum fix terkumpul, Winna merogoh bagian bawah bantal yang ia tiduri untuk mencari telepon genggamnya. Kau tahu Blackberry? Nah, itu lah HandPhone yang digunakan Winna. Winna menekan tombol Unlock dan langsung terpampang jelas ada Pesan singkat yang masuk. Pesan dari Nico, ya, Nico. Lelaki yang selama ini menjadi idola winna di sekolah.

Selamat Pagi, Winna. Jangan lupa sarapan, ya! Terus jangan sampai telat!”
    
  Membaca pesan singkat tersebut, Winna mengulum senyum manja di ujung bibirnya dan matanya berbinar-binar bak kurcaci bertemu Cinderella . Winna mempertegas jemarinya di atas KeyPad Handphone-nya, lalu ia mengetik balasan pesan singkat dari Nico…

Selamat Pagi  juga, Nic! Iya tenang aja, aku enggak akan lupa sarapan dan dijamin enggak akan telat, deh!”
   
  Lalu, Winna menggeletakan HP-nya di atas ranjang dan membiarkannya . Winna bergegas menuju Kamar Mandi untuk membersihkan diri sebelum berangkat sekolah. Setelah selesai mandi, Winna mengenakan seragam sekolahnya dan menuju ruang makan untuk menyantap sarapan yang telah disiapkan Ibunda tercintanya. Setelah menyantap habis sarapannya, Winna diantar Ayahnya menuju sekolah. Winna memang enggan berminat diantar teman lelakinya menuju sekolah, walapun jarak rumah temannya tidak terlalu jauh dengan rumah Winna, tetap saja winna lebih memilih berangkat sekolah bersama Ayahnya, dengan alasan lebih aman. Katanya.
   
  Sesampai di depan sekolah, Winna mencium hormat punggung tangan Ayahnya. Lalu, Winna menuju kelasnya, 11 IPA C. Setibanya di IPA C, Winna memang selalu menjadi murid pertama yang sampai di kelas. Sambil menunggu karib sejatinya, Winna mengeluarkan earphone untuk mendengarkan lantunan musik slow.

“Winna! Ada PR apa, Win?” Putri datang, Iya, itu Putri… Sahabat Winna. Begitu dekat, begitu akrab.

“Ah, kamu, put! Datang-datang nanyain PR. Enggak ada PR kok, Put.”

“Oh, Alhamdulillah.” Putri membuka lekatan tasnya lalu menyimpannya diatas bangku yang ada di sebelah bangku Winna.

“Eh, Win. Kamu sama Nico gimana? Ada kemajuan?” Tanya putri sembari mengecilkan suaranya.

“Emm, enggak gimana-gimana, Nico juga belum nembak aku, Put.” Wajah Winna menjadi masam.

“Mau aku bantu, enggak? Siapa tahu aku bisa bantu.”
“Bantu? Maksudnya? Bantu seperti apa, Put?” Winna mengerutkan keningnya.

“Ya, aku bujuk Nico untuk memberikan kamu kepastian gitu lho, Win.”

“Wah, bisa juga tuh. Kamu benar mau?”

“Iya, Win. Demi kamu, aku lakuin, kok!”

“Terimakasih Putri sayang, kamu memang sahabatku yang paling Top deh!”

“Hehehe, bisa aja kamu, kamu juga! Nanti malam, aku SMS Nico, deh.”

“Ok, Put!”

  Dalam keasyikan perbincangan Winna dan Putri, Nico pun datang, dengan mengenakan jaket merahnya yang khas. Perawakan Nico ini badannya tinggi, berkulit putih, rambut sedikit coklat keriting dan mengenakan Behel.

“Halo, Win. Halo, Put.” Senyumnya yang lebar menyapa Winna dan Putri, beserta rantai behel birunya yang tampak sedikit di dalam bibirnya.
   
  Kedekatan Winna dengan Nico, sudahlah amat dekat. Mereka sering berbincang hangat berdua di kelas, bergurau ria depan kelas, makan berdua saat istirahat. Pokoknya, seperti pasangan kekasih yang baru saja membeli jagat raya ini. Nico sering memanjakan Winna, begitupun sebaliknya. Di lini masa Twitter, seringkali aku mendapati mereka berdua bermesraan di Lini Masa, hingga larut malam.
  
  Setiap kali aku melewati kelas IPA C, selalu saja aku melihat mereka berdua tertawa bahagia berdua, berfoto-foto, dan berbincang mesra. Namun, semuanya hanya sebatas karib, tidak lebih. Walaupun keduanya ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, Pacaran. Mengerti? Winna dan Nico, sudah pernah mengutarakan perasaan mereka masing-masing, Nico mencintai Winna, Winna mencintai Nico. Mengerti? Namun, Nico masih saja belum meminang Winna untuk menjadi kekasihnya. Dan Winna jenuh dengan penantian seribu jam itu…
   
  Winna pun menunjukan sikap jenuhnya dengan cara menyindir Nico tiap kali mereka berbalas pesan singkat, seperti…

“Ehm, aku juga capek nunggu kepastian…

   Ya lebih kurangnya seperti itulah. Dari sikap Winna, Nico mencoba mencari momentum itu, Nico mencari waktu yang tepat  untuk meminang Winna. Sekiranya, satu bulan setelah Winna menyindir Nico, Nico meminangnya. Di suatu malam yang tenang, Nico menelponnya…

Win, Kita udah tau, kan? Kalau kita itu udah saling mencintai satu sama lain? Aku juga udah enggak tahan untuk menyembunyikan kalimat ini. Kamu mau enggak jadi pacar aku, Win?

Winna terbelalak kaget mendengar ucapan Nico dibalik telepon itu, Winna seakan bisu seribu bahasa.

Tapi,aku masih ragu sama kamu…”

“Lho? Kok… Jawaban kamu begitu?”

“Aku fikir-fikir dulu, ya, Nic.”

“Ok, Win.” Lalu Nico mematikan Teleponnya…

  Lho? Kenapa Winna ragu menerima Nico? Bukannya Winna yang mengharapkan pinangan dari Nico? Apa mungkin karena Nico yang telah berubah? Sikapnya? Atau apa? Oh, aku mengerti Izinkan aku bercerita untuk menceritakan cerita empat hari sebelum Nico meminang Winna..… Semuanya terbuka, setelah Winna menghubungiku…

“… Bisa kita ketemu sekarang?”

“Ada apa, Win?”

“Tolong, kamu harus mendengar ceritaku.”

“Ok, kita ketemu di Café Zoro.”

“Ok.”

Sesampai di Café, aku lihat Winna yang terduduk rapi di sudut Café, dengan mengenakan Kemeja ungu dan matanya yang sembab.

“Win, ada apa?”

“…Aku sedih lihat Nico.”

“Sedih kenapa? Kalian sudah jadian?”

“Entahlah, Nico menggantungkan asaku…”

“Coba, berikan aku kejelasan.”

“…Begini, kau tahu kedekatan aku dengan Nico? Dan kau tahu sahabatku, Putri?”

Aku mengangguk…

“Tiga minggu yang lalu, putri menyarankan kepadaku untuk meminta bantuannya agar membujuk Nico supaya Nico meminangku, kau mengerti maksudku? Dari situ, semenjak Putri membantuku untuk membujuk Nico. Aku melihat perubahan Nico yang begitu signifikan, Nico terlihat cuek. Nico yang biasanya perhatian, kini perhatiannya sebatas di SMS. Terlebih, ketika aku melihat Nico bercanda-canda dengan Putri, itu sakit rasanya… Tapi, aku mencoba berfikir jernih kepada sahabatku itu. Namun, hari demi hari, mereka terlihat lebih lengket, Nico seakan menjauhiku di sekolah. Dan kau tahu apa yang terjadi dengan Putri? Putri kini pindah tempat duduk, yang mulanya ia duduk denganku, sekarang dia duduk dengan Rifda. Ini sungguh menjengkelkan, semenjak mereka berdua menjadi dekat, mereka menjauhiku dan cuek. Aku….”

Bulir-bulir airmatanya telah sampai di pelupuk matanya, berontak keluar. Dan kini, Winna tidak dapat menahan tangisnya, semua bulir air mata itu, mengalir deras. Winna mencoba membasuh air matanya, dan melanjutkan ceritanya,

“Aku benar-benar kecewa dengan mereka berdua, aku tidak mengerti apa yang menimpaku saat ini.”

“Kamu bisa Ikhlas?” Aku hanya membalas sedikit, agar dia bisa tenang menjawab.

“Tidak…”

“Lalu, apa yang kamu inginkan dari peristiwa ini? Kamu menganggap Putri menyukai Nico atau sebaliknya?”

“Aku tidak tahu… tapi, firasatku mengatakan itu.”

“Win, Putri itu sahabatmu, tidak mungkin seorang sahabat mengkhianatimu karena cinta.”

“Lalu, apa kabarnya Putri yang kini menjadi dingin dan cuek denganku?”

Aku membisu, seakan kehabisan kata-kata…

   Namun, cerita ini, baru aku pandang dari sudut pandang Winna. Aku mencoba mencari Nico. Keesokan harinya, di sekolah.

   Aku mendapati Nico di kantin, kebetulan, Nico bersama Putri. Sedang makan berdua, begitu mesra.  Aku menghampiri mereka berdua dan bersalaman dengan mereka . Aku membuka percakapan dengan basa-basi, menanyakan pelajaran, suasana di kelas hingga jadwal Timnas Indonesia kepada Nico, karena Nico sama-sama Fans Fanatik Timnas Indonesia denganku. Dan aku mencoba menanyakan Hal Winna kepada Nico…

“Nic, Winna kenapa, sih?” Nico terlihat senyum namun Putri, terlihat gugup.

  Nico seakan mengerti maksud dan tujuan pertanyaanku, ini sangat membantuku. Nico langsung memaparkan perkara kejadian ini kepadaku, dengan detail.

“… Dia cerita apa saja kepadamu? Jadi begini, aku memang mencintai Winna, namun… semuanya berubah ketika dia (Putri) datang ke hidupku, dia awalnya membujukku untuk meminang Winna, namun, aku menerimanya lain. Putri lebih asyik dan seru. Dan aku suka caranya berbicara denganku, Putri lebih lembut, dibandingkan Winna yang lebih tempramen… semuanya berubah ketika dia datang.”

   Jadi, Nico tidak serius atau apa dengan Winna?

“Jadi, kamu dengan Winna bagaimana? Apa ingin melanjutkan?”

“Sepertinya, iya. Aku ingin meminangnya dua hari kedepan. Karena aku yakin, Winna pasti menolakku. Kenapa? Karena dia sudah muak melihatku dengan putri. Hahaha.” Nico tertawa geli.

Aku melihat Putri terdiam malu mendengarkan perbincanganku dengan Nico… Aku mencoba menanyakan Hal ini.

“Put? Kenapa sama Winna?”

“…. Enggak kenapa-napa, aku Cuma takut Winna marah besar kepadaku, Aku takut Winna menjauhiku, maka dari itu aku coba cuek dulu dengan Winna. Sebenarnya, aku tidak ada apa-apa dengan Nico, tapi, Nico aja yang nakal selalu mendekatiku. Aku mencoba menjalankan tugasku untuk membujuk Nico agar mau meminang Winna, tapi alhasil, semua berbeda dari rencana awal. Aku sama sekali enggak ada niat untuk mengkhianati Winna.”

  Aku benar-benar Shock tidak mengerti dengan alur cerita cinta seperti ini. Aku bergegas pergi, dan menuju kelasku, aku mencoba membersihkan fikiranku, dan menenangkan diri… Aku benar-benar tidak mengerti apa yang barusan saja aku dengar. Sepulang sekolah, aku menunggu Winna depan gerbang… Lima belas menit aku tenggelam dalam penantian kehadirannya, Winna hadir, dengan wajah yang masih lesu.

“Ayo, ikut aku.”

   Winna tidak menanyakan kepadaku, kemana aku ingin membawanya, kemana aku ingin mengajaknya. Winna nurut saja dengan perintahku dan mengangkat setengah Roknya lalu naik ke motorku. Aku berencana untuk menceritakan semuanya kepada Winna di café Zoro tempat Winna bercerita kemarin.

“Ada apa?”

“Begini, Win………………………………………” aku menceritakan jelas semuanya.

“Jadi, begitu… Ya? Yasudahlah, aku tidak sanggup lagi.”

   Namun, pada malam ini… Nico meminangnya lewat Telepon, dan Winna ragu untuk menjawabnya, karena faktor tadi. Setelah dijawab seperti itu, Nico enggan memberi Winna harapan lagi, Nico membiarkan Winna terdiam menunggu sepucuk harapan pasti dari Nico.

“….. Aku mencintai Nico, sampai kapanpun, aku tidak bisa melupakan Nico.”

“Sabar.” Jawabku.

  Inilah cerita cinta yang aku persingkat kesulitannya, yang sebenarnya aku tidak ingin berkecimpung di dalamnya, aku hanya ingin menyaksikan cerita ini akan bermuara dimana… dan kepada siapa cinta itu akan mendarat.

   Aku lebih sering mendapati Nico dan Putri yang berduaan menyantap satu cup es krim berdua, bercanda gurau, bahkan… lebih mesra dari itu.
Aku mencoba lebih diam, tanpa ada usaha ingin mengetahuinya, mencoba tetap tenang. Menjadi mediator antara Winna, Nico dan Putri. Karena ini Risalah Hati, yang hanya mereka bertiga dan Tuhan yang mengetahuinya.