Sepucuk
Harapan
Disini aku berperan
sebagai Narator, kau tahu, kan? Maksud dari Narator? Tapi, aku bukan Narator
asli, aku memakai kata Narator untuk menyembunyikan identitasku, mengerti? Aku
adalah saksi hidup dalam perjalanan cerita cinta yang satu ini, cerita yang begitu
sulit dan begitu rumit. Sampai aku sendiripun tidak mengerti, kemana cerita ini
akan bermuara… Maka, izinkan aku bercerita…
Udara dingin
menyeruak ganas memasuki kamar dan mengisi setiap sudut kamar Winna, Winna ini
adalah sahabatku, semenjak kelas sepuluh SMA. Keganasan udara dingin itu,
membuat Winna terbangun dari tidur lelapnya selama berjam-jam… Sedikit tersadar ditengah-tengah kesadaran
yang belum fix terkumpul, Winna
merogoh bagian bawah bantal yang ia tiduri untuk mencari telepon genggamnya.
Kau tahu Blackberry? Nah, itu lah HandPhone yang digunakan Winna. Winna
menekan tombol Unlock dan langsung
terpampang jelas ada Pesan singkat yang masuk. Pesan dari Nico, ya, Nico.
Lelaki yang selama ini menjadi idola winna di sekolah.
“Selamat Pagi, Winna.
Jangan lupa sarapan, ya! Terus jangan sampai telat!”
Membaca pesan
singkat tersebut, Winna mengulum senyum manja di ujung bibirnya dan matanya
berbinar-binar bak kurcaci bertemu Cinderella
. Winna mempertegas jemarinya di atas KeyPad
Handphone-nya, lalu ia mengetik
balasan pesan singkat dari Nico…
“Selamat Pagi juga, Nic! Iya tenang aja, aku enggak akan
lupa sarapan dan dijamin enggak akan telat, deh!”
Lalu, Winna
menggeletakan HP-nya di atas ranjang dan membiarkannya . Winna bergegas menuju
Kamar Mandi untuk membersihkan diri sebelum berangkat sekolah. Setelah selesai
mandi, Winna mengenakan seragam sekolahnya dan menuju ruang makan untuk
menyantap sarapan yang telah disiapkan Ibunda tercintanya. Setelah menyantap
habis sarapannya, Winna diantar Ayahnya menuju sekolah. Winna memang enggan
berminat diantar teman lelakinya menuju sekolah, walapun jarak rumah temannya
tidak terlalu jauh dengan rumah Winna, tetap saja winna lebih memilih berangkat
sekolah bersama Ayahnya, dengan alasan lebih aman. Katanya.
Sesampai di depan
sekolah, Winna mencium hormat punggung tangan Ayahnya. Lalu, Winna menuju
kelasnya, 11 IPA C. Setibanya di IPA C, Winna memang selalu menjadi murid
pertama yang sampai di kelas. Sambil menunggu karib sejatinya, Winna mengeluarkan
earphone untuk mendengarkan lantunan
musik slow.
“Winna! Ada PR apa, Win?” Putri datang, Iya, itu Putri…
Sahabat Winna. Begitu dekat, begitu akrab.
“Ah, kamu, put! Datang-datang nanyain PR. Enggak ada PR kok,
Put.”
“Oh, Alhamdulillah.” Putri
membuka lekatan tasnya lalu menyimpannya diatas bangku yang ada di sebelah
bangku Winna.
“Eh, Win. Kamu sama Nico gimana? Ada kemajuan?” Tanya putri
sembari mengecilkan suaranya.
“Emm, enggak gimana-gimana, Nico juga belum nembak aku,
Put.” Wajah Winna menjadi masam.
“Mau aku bantu, enggak? Siapa tahu aku bisa bantu.”
“Bantu? Maksudnya? Bantu seperti apa, Put?” Winna
mengerutkan keningnya.
“Ya, aku bujuk Nico untuk memberikan kamu kepastian gitu
lho, Win.”
“Wah, bisa juga tuh. Kamu benar mau?”
“Iya, Win. Demi kamu, aku lakuin, kok!”
“Terimakasih Putri sayang, kamu memang sahabatku yang paling
Top deh!”
“Hehehe, bisa aja kamu, kamu juga! Nanti malam, aku SMS
Nico, deh.”
“Ok, Put!”
Dalam keasyikan perbincangan Winna dan Putri, Nico pun
datang, dengan mengenakan jaket merahnya yang khas. Perawakan Nico ini badannya
tinggi, berkulit putih, rambut sedikit coklat keriting dan mengenakan Behel.
“Halo, Win. Halo, Put.” Senyumnya yang lebar menyapa Winna
dan Putri, beserta rantai behel birunya yang tampak sedikit di dalam bibirnya.
Kedekatan Winna
dengan Nico, sudahlah amat dekat. Mereka sering berbincang hangat berdua di
kelas, bergurau ria depan kelas, makan berdua saat istirahat. Pokoknya, seperti
pasangan kekasih yang baru saja membeli jagat raya ini. Nico sering memanjakan
Winna, begitupun sebaliknya. Di lini masa Twitter,
seringkali aku mendapati mereka berdua bermesraan di Lini Masa, hingga larut
malam.
Setiap kali aku
melewati kelas IPA C, selalu saja aku melihat mereka berdua tertawa bahagia
berdua, berfoto-foto, dan berbincang mesra. Namun, semuanya hanya sebatas
karib, tidak lebih. Walaupun keduanya ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih
serius, Pacaran. Mengerti? Winna dan Nico, sudah pernah mengutarakan perasaan
mereka masing-masing, Nico mencintai Winna, Winna mencintai Nico. Mengerti?
Namun, Nico masih saja belum meminang Winna untuk menjadi kekasihnya. Dan Winna
jenuh dengan penantian seribu jam itu…
Winna pun
menunjukan sikap jenuhnya dengan cara menyindir Nico tiap kali mereka berbalas
pesan singkat, seperti…
“Ehm, aku juga capek nunggu kepastian…”
Ya lebih kurangnya
seperti itulah. Dari sikap Winna, Nico mencoba mencari momentum itu, Nico
mencari waktu yang tepat untuk meminang
Winna. Sekiranya, satu bulan setelah Winna menyindir Nico, Nico meminangnya. Di
suatu malam yang tenang, Nico menelponnya…
“Win, Kita udah tau,
kan? Kalau kita itu udah saling mencintai satu sama lain? Aku juga udah enggak
tahan untuk menyembunyikan kalimat ini. Kamu mau enggak jadi pacar aku, Win?”
Winna terbelalak kaget mendengar ucapan Nico dibalik telepon
itu, Winna seakan bisu seribu bahasa.
“Tapi,aku masih ragu
sama kamu…”
“Lho? Kok… Jawaban
kamu begitu?”
“Aku fikir-fikir dulu,
ya, Nic.”
“Ok, Win.” Lalu
Nico mematikan Teleponnya…
Lho? Kenapa Winna ragu menerima Nico? Bukannya Winna yang
mengharapkan pinangan dari Nico? Apa mungkin karena Nico yang telah berubah?
Sikapnya? Atau apa? Oh, aku mengerti Izinkan aku bercerita untuk menceritakan
cerita empat hari sebelum Nico meminang Winna..… Semuanya terbuka, setelah
Winna menghubungiku…
“… Bisa kita ketemu sekarang?”
“Ada apa, Win?”
“Tolong, kamu harus mendengar ceritaku.”
“Ok, kita ketemu di Café Zoro.”
“Ok.”
Sesampai di Café, aku lihat Winna yang terduduk rapi di
sudut Café, dengan mengenakan Kemeja ungu dan matanya yang sembab.
“Win, ada apa?”
“…Aku sedih lihat Nico.”
“Sedih kenapa? Kalian sudah jadian?”
“Entahlah, Nico menggantungkan asaku…”
“Coba, berikan aku kejelasan.”
“…Begini, kau tahu kedekatan aku dengan Nico? Dan kau tahu
sahabatku, Putri?”
Aku mengangguk…
“Tiga minggu yang lalu, putri menyarankan kepadaku untuk
meminta bantuannya agar membujuk Nico supaya Nico meminangku, kau mengerti
maksudku? Dari situ, semenjak Putri membantuku untuk membujuk Nico. Aku melihat
perubahan Nico yang begitu signifikan, Nico terlihat cuek. Nico yang biasanya
perhatian, kini perhatiannya sebatas di SMS. Terlebih, ketika aku melihat Nico
bercanda-canda dengan Putri, itu sakit rasanya… Tapi, aku mencoba berfikir
jernih kepada sahabatku itu. Namun, hari demi hari, mereka terlihat lebih
lengket, Nico seakan menjauhiku di sekolah. Dan kau tahu apa yang terjadi
dengan Putri? Putri kini pindah tempat duduk, yang mulanya ia duduk denganku,
sekarang dia duduk dengan Rifda. Ini sungguh menjengkelkan, semenjak mereka
berdua menjadi dekat, mereka menjauhiku dan cuek. Aku….”
Bulir-bulir airmatanya telah sampai di pelupuk matanya,
berontak keluar. Dan kini, Winna tidak dapat menahan tangisnya, semua bulir air
mata itu, mengalir deras. Winna mencoba membasuh air matanya, dan melanjutkan
ceritanya,
“Aku benar-benar kecewa dengan mereka berdua, aku tidak
mengerti apa yang menimpaku saat ini.”
“Kamu bisa Ikhlas?” Aku hanya membalas sedikit, agar dia
bisa tenang menjawab.
“Tidak…”
“Lalu, apa yang kamu inginkan dari peristiwa ini? Kamu
menganggap Putri menyukai Nico atau sebaliknya?”
“Aku tidak tahu… tapi, firasatku mengatakan itu.”
“Win, Putri itu sahabatmu, tidak mungkin seorang sahabat
mengkhianatimu karena cinta.”
“Lalu, apa kabarnya Putri yang kini menjadi dingin dan cuek
denganku?”
Aku membisu, seakan kehabisan kata-kata…
Namun, cerita ini,
baru aku pandang dari sudut pandang Winna. Aku mencoba mencari Nico. Keesokan
harinya, di sekolah.
Aku mendapati Nico
di kantin, kebetulan, Nico bersama Putri. Sedang makan berdua, begitu
mesra. Aku menghampiri mereka berdua dan
bersalaman dengan mereka . Aku membuka percakapan dengan basa-basi, menanyakan
pelajaran, suasana di kelas hingga jadwal Timnas Indonesia kepada Nico, karena
Nico sama-sama Fans Fanatik Timnas
Indonesia denganku. Dan aku mencoba menanyakan Hal Winna kepada Nico…
“Nic, Winna kenapa, sih?” Nico terlihat senyum namun Putri,
terlihat gugup.
Nico seakan mengerti
maksud dan tujuan pertanyaanku, ini sangat membantuku. Nico langsung memaparkan
perkara kejadian ini kepadaku, dengan detail.
“… Dia cerita apa saja kepadamu? Jadi begini, aku memang
mencintai Winna, namun… semuanya berubah ketika dia (Putri) datang ke hidupku,
dia awalnya membujukku untuk meminang Winna, namun, aku menerimanya lain. Putri
lebih asyik dan seru. Dan aku suka caranya berbicara denganku, Putri lebih
lembut, dibandingkan Winna yang lebih tempramen… semuanya berubah ketika dia
datang.”
Jadi, Nico tidak
serius atau apa dengan Winna?
“Jadi, kamu dengan Winna bagaimana? Apa ingin melanjutkan?”
“Sepertinya, iya. Aku ingin meminangnya dua hari kedepan.
Karena aku yakin, Winna pasti menolakku. Kenapa? Karena dia sudah muak
melihatku dengan putri. Hahaha.” Nico tertawa geli.
Aku melihat Putri terdiam malu mendengarkan perbincanganku
dengan Nico… Aku mencoba menanyakan Hal ini.
“Put? Kenapa sama Winna?”
“…. Enggak kenapa-napa, aku Cuma takut Winna marah besar
kepadaku, Aku takut Winna menjauhiku, maka dari itu aku coba cuek dulu dengan
Winna. Sebenarnya, aku tidak ada apa-apa dengan Nico, tapi, Nico aja yang nakal
selalu mendekatiku. Aku mencoba menjalankan tugasku untuk membujuk Nico agar
mau meminang Winna, tapi alhasil, semua berbeda dari rencana awal. Aku sama
sekali enggak ada niat untuk mengkhianati Winna.”
Aku benar-benar Shock tidak mengerti dengan alur cerita
cinta seperti ini. Aku bergegas pergi, dan menuju kelasku, aku mencoba
membersihkan fikiranku, dan menenangkan diri… Aku benar-benar tidak mengerti
apa yang barusan saja aku dengar. Sepulang sekolah, aku menunggu Winna depan
gerbang… Lima belas menit aku tenggelam dalam penantian kehadirannya, Winna
hadir, dengan wajah yang masih lesu.
“Ayo, ikut aku.”
Winna tidak
menanyakan kepadaku, kemana aku ingin membawanya, kemana aku ingin mengajaknya.
Winna nurut saja dengan perintahku dan mengangkat setengah Roknya lalu naik ke
motorku. Aku berencana untuk menceritakan semuanya kepada Winna di café Zoro
tempat Winna bercerita kemarin.
“Ada apa?”
“Begini, Win………………………………………” aku menceritakan jelas
semuanya.
“Jadi, begitu… Ya? Yasudahlah, aku tidak sanggup lagi.”
Namun, pada malam ini… Nico meminangnya lewat Telepon, dan
Winna ragu untuk menjawabnya, karena faktor tadi. Setelah dijawab seperti itu,
Nico enggan memberi Winna harapan lagi, Nico membiarkan Winna terdiam menunggu
sepucuk harapan pasti dari Nico.
“….. Aku mencintai Nico, sampai kapanpun, aku tidak bisa
melupakan Nico.”
“Sabar.” Jawabku.
Inilah cerita cinta
yang aku persingkat kesulitannya, yang sebenarnya aku tidak ingin berkecimpung
di dalamnya, aku hanya ingin menyaksikan cerita ini akan bermuara dimana… dan
kepada siapa cinta itu akan mendarat.
Aku lebih sering
mendapati Nico dan Putri yang berduaan menyantap satu cup es krim berdua, bercanda gurau, bahkan… lebih mesra dari itu.
Aku mencoba lebih diam, tanpa ada usaha ingin mengetahuinya,
mencoba tetap tenang. Menjadi mediator antara Winna, Nico dan Putri. Karena ini
Risalah Hati, yang hanya mereka bertiga dan Tuhan yang mengetahuinya.
No comments:
Post a Comment