Drama
Dibalik Cahaya
Di antara puluhan, atau bahkan ratusan kursi penonton ruang teater drama ini, aku menikmati setiap peran-peran abstrak yang dilakukan para bayangan dibalik cahaya tersebut. Lho, Kok peran abstrak? Kenapa bayangan? Ya, peran-peran yang diceritakan disini begitu abstrak, drama yang aku tonton setiap minggunya ini, tidak pernah dipandu oleh narator, atau sebagainya. Mereka hanya diiringi instrumen-instrumen yang bernuansa senang atau sedih... Tokoh-tokoh dalam pertunjukan ini, bukan manusia, melainkan hanya jari-jari yang di ada di depan lampu sorot lalu menghasilkan bayangan jari yang amat besar di layar lebar yang ada di atas panggung.
Kursi penonton yang mayoritas berwarna merah, menghasilkan kesan elegan ruangan super raksasa ini, ditambah kesejukan dari Air Conditioner Sentral yang dipasang di bagian langit-langit ruangan. Aku biasa kesini, setiap hari sabtu. Dimana kerjaanku sudah selesai. Disini, sangat jarang bahkan tidak pernah aku melihat sekumpulan manusia memainkan peran disetiap peranan yang diberikan sang sutradara. Ya, itu... Aku hanya menikmati bayangan jari-jari manusia, hanya bayangannya.
Para penonton hanya diminta berfikir sendiri, apa maksud disetiap gerakan bayangan-bayangan jari tersebut. Yang bergerak, berjalan, melompat dan menari diiringi instrumen, begitu khas permainan mereka. Sebenarnya, aku tidak begitu menikmati pertunjukan mereka, aku hanya menikmati sejuknya AC, empuknya kursi penonton dan musik instrumen yang begitu mengalun dengan santai.
Aku menoleh ke kanan, kiri dan belakang, semua penonton begitu khidmat menyaksikan drama itu, drama para bayangan dibalik cahaya. Apa yang mereka nikmati dari bayangan-bayangan itu? Ah, semua terlihat aneh, bayangan dan penonton yang lain begitu aneh bagiku. Apa yang mereka dapat dari pertunjukan ini setiap pekannya? Aku hanya menikmati fasilitas dari ruangan ini, nyaman. Ya, hanya itu, tidak lebih. Aku pun tidak menginginkan lebih.
Bagaimana tidak? Pertunjukan ini hanya menampilkan bayangan-bayangan jari yang sedang bercengkrama dengan jari yang lain, lalu, berjalan bersama, berlari-lari dan bernari. Sangat membosankan, namun yang lebih sintingnya, pertunjukan ini selalu ramai penonton, tidak kurang tiga ratus lembar tiket habis terjual setiap pertunjukannya. Lagi lagi aku kembali bertanya, Apa yang mereka cari dari pertunjukan ini? Musik tanda pertunjukan berakhir pun berbunyi, aku segera sadar dari lamunan setengah kantukku tadi. Aku membereskan jaketku lalu bergegas keluar.
Namun, semuanya berbeda, sangat berbeda. Setelah aku berjumpa dengan gadis itu... gadis yang begitu halus, sangat halus....
Minggu depannya, aku kembali datang, dengan niat yang sama. Istirahat-menikmati AC-rebahan diatas kursi yang empuk, hanya itu. Namun, hari itu sangat berbeda.... Sangat.
Ketika aku memperhatikan pertunjukan itu dengan pikiran yang sedang liar entah kemana. Aku dibingungkan oleh ketawa mungil dari gadis disebelahku...
"Hehehe."
Akupun terbelalak bingung, Apa yang membuat dia tertawa? Pertunjukan itu? Jika iya, apa ia waras?
Bagiku, pertunjukan ini tidak ada yang lucu, bahkan yang menarikpun tidak ada. Lantas, mengapa wanita itu tertawa mungil? Laksana menyembunyikan jutaan ton zat lucu dalam logika.
"Mbak, apa yang membuat mbak tertawa?" Aku bertanya lirih dengan serius.
"Kau tidak memperhatikannya? Kau tidak melihatnya menangis?"
Aku semakin linglung, bingung.... percakapan ini semakin aneh, mengapa yang menangis ia tertawakan? dan bagaimana ia melihat sang jari menangis?
"Lho? menangis? Itu hanya jari, kan? yang berumpama menjadi sepasang kaki manusia?"
"Sok tahu, kau! Buat apa kau mengeluarkan sepuluh ribu rupiah kalau hanya numpang istirahat disini? Kan dirumah bisa. Coba kau perhatikan setiap peran yang dimainkan, ini seru."
Ini semakin gila, mengapa dia tahu maksud dan tujuan aku datang kemari?
"I-iya, Mbak. Aku tidak memperhatikannya, memang mereka itu bercerita apa?"
"Mereka menceritakan sejarah gedung ini, dulu, disini ada pasangan kekasih. Nah, si Wanitanya mati dibunuh si lelaki."
Mataku seperti ingin lompat dari cangkangnya saat mendengar penjelasan dari wanita itu.
"Kenapa kau? bingung? Perhatikan, Dong! Kasihan lho, masa cuma karena si Wanita telat tiga jam dari janji awal untuk bertemu ditempat ini, lelaki tersebut nekat membunuh wanita itu." Lalu dia tersenyum, sangat manis, sangat cantik.
"Wah? Kejam sekali, Mbak? Yaudah deh, saya coba untuk memperhatikan lagi, Ya."
Lalu, gadis itu melemparkan senyumannya ke arahku, begitu manis. Sangat manis.
Tidak lama dari itu, Drama berakhir... Aku belum sempat mengerti maksud alur dari cerita yang dimainkan para jari tersebut, hanya inti ceritanya saja, itupun dari gadis tersebut.
Depan pintu keluar, ada pameran... entah pameran apa, akan tetapi begitu dipadati penonton yang selesai menyaksikan drama tadi. Aku mencoba mendekat, dan ternyata pameran busana, busana itu gaun yang dihiasi corak-corak mawar merah, dan aku sudah tidak asing dengan gaun tersebut. Diatas gaun tersebut ada tulisan
"Gaun milik Elisa, Wanita yang dibunuh."
Oh, iya. Aku mengerti... Jadi, tadi itu aku berbicara dengan gadis yang sangat halus, gadis yang mengenakan gaun bercorak mawar merah, percis seperti gaun di pameran . Elisa, namanya. Sebuah peran manusia, yang selama ini menjadi keluhanku untuk tim drama itu. Namun, tokoh tadi begitu dekat denganku, sangat dekat, hingga berbincang denganku. Menceritakan alur yang dimainkan jari-jari tersebut. Tapi, Elisa bukan lagi manusia, dia sudah bergabung dengan alam yang lain, alam yang begitu kekal. Dia datang, dikirimkan Tuhan untuk aku, penonton yang enggan memperhatikan pertunjukan drama untuk menceritakan inti dari cerita tersebut.
Gadis itu begitu halus, lebih halus dari udara.... Elisa, Namanya.
No comments:
Post a Comment