Oleh: Aldyan Bopa Utama
— Untuk Dhila, yang telah membuatku sekronis ini.
Kemarin, kita berbuntut menapaki senti demi senti kompleks Candi Borobodur. Melewati tiap-tiap relief yang bercerita dalam bisu. Namun, aku tetap fokus dengan cerita sederhana yang begitu klasik ini..
Seorang pria yang berjalan di belakang gadis yang sangat ia cintai.
Gadis itu kamu. Dan Pria itu, tentu, aku. Aku yang terkekeh kecil menatapmu yang sedang menggenggam kamera poket, sembari menjulurkannya ke spot tertentu di Candi ini. Sesekali kamu tersenyum melihat hasil potret yang tayang di layar kameramu. Tukikan manis yang biasa kamu ulum di ujung bibir tipismu. Sering kamu melakukan itu, sebenarnya. Namun, karena terlalu indah dan luar biasa manisnya.. Rasa jenuh pun tak pernah mencoba menghampiri nalarku untuk merasa bosan akan senyummu itu.
Senyum yang biasa kamu terbitkan saat fajar datang. Senyum yang biasa kamu lombakan untuk menjadi hal indah diantara semburat-semburat oranye senja selatan.
Ya, cerita singkat itu tidak akan pernah hilang dari sini...
Aku berjalan dibelakangmu, dibalik punggung itu. Kamu yang mengenakan kerudung merah mawar, t-shirt merah dan cardigan hitam. Kau tahu? Itu sangat cantik.
Ada yang lain di dirimu yang membuatku selalu merasa tercekik tak bernafas apabila melihatnya.
Matamu..
Ya, Mata kamu. Walau ada ajudan didepan itu, namun, keindahannya sama sekali tidak memudar nol koma persenpun. Dibalik kaca bening itu, aku bisa lihat samudera parfait disana, dengan gelombangnya yang berupa cinta, menari-nari seakan memikat mataku untuk tetap terus menatap itu.
Dan kamu masih ingat kejadian malam itu, di Apartemen sebelah Apartemen tempatku bermalam? Aku menekan tombol angka tiga di jajaran tuts tombol lift. Bersama rekanku saat itu.
Pintu lift mulai terbuka dengan halus dan teratur. Hanya menelan beberapa langkah dari mulut lift, belok kiri dan disebelah kiri aku bisa melihat kamar bernomor seratus tiga puluh satu disitu.
Kamupun keluar dengan mengenakan kerudung berwarna biru tua dan kaus, apa, ya? Aku lupa.
Yang aku ingat, kamu pakai celana bermotif bunga warna hijau terang. Seperti wanita betawi, tapi, bagaimanapun, kamu sangat cantik.
Aku menghampiri kamarmu hanya ingin memberikan sebuah gelang yang serupa dengan gelang yang melingkar di pergelangan tanganku.. Gelang itu memiliki hiasan ditengahnya, kepingan hati yang ditengahnya terukir inisial B dan D. Aku berikan kamu yang B.
Kau tahu maksud dari gelang itu? Aku mendapatkannya butuh perjuangan: yang pertama, aku harus berjalan di hotmik malioboro saat itu. Menahan pendengaranku dari setiap pedagang-pedagang yang terus saja menawariku barang dagangannya. Satu persatu, pedagang aksesoris aku tanya. Namun, gelang yang aku maksud tak jua aku temukan. Butiran peluh mulai memenuhi pelipisku, hingga mengalir pelan sampai rahang.
Aku mencoba tetap bertahan dari padat dan riuhnya wisatawan yang memenuhi kawasan Malioboro. Tetap mendedikasikan setiap detik, menit bahkan jam untuk terus mencari sebuah pedagang yang menjual gelang berkeping hati yang tak ketinggalan mesin ukirnya.
Usahaku tidak sia-sia. Aku menemukan pedagang aksesoris yang menjual gelang yang aku maksud, namun, pedagang itu paham arti dari air mukaku ini—Aku sangat menginginkan itu. Pedagang berambut gondrong yang disisir rapih itu mematok harga yang cukup tinggi untuk sepasang gelang itu. Selama beberapa menit, kami saling tawar menawar hingga menemukan harga yang disepakati..
Dan disini, di depan pintu kamar. Aku memberikan itu... Sebuah gelang berkeping hati dengan inisial nama kita berdua. Yang mengartikan, kamu pegang hatiku, dan aku pegang hatimu. Kamu tidak akan bisa mencintai pria lain dengan hatimu, karena hatimu ada padaku, kamu juga tidak bisa mencintai pria lain dengan hatiku. Begitupun aku. Mengerti?
Aku mencintaimu, sungguh. Dalam diam, aku mengkhawatirkanmu.
Dalam lafalan setiap do'aku, terselip namamu di dalamnya.
Disetiap malam buta, aku memperhatikan daun matamu yang menutup samudera parfait itu.
Aku mencintaimu dengan cara yang klasik, seklasik embun yang setia menunggu matahari.
Aku memberikan cinta kepadamu dengan cara yang berlebihan. Seperti anak TK yang diberikan uang saku lima juta satu hari.
Aku merindukanmu dengan cara yang gila. Seperti bulan yang merindukan malam.
"Dan aku akan terus mencintaimu,
Sampai si Bisu bicara kepada si Tuli
Bahwa si Buta melihat si Lumpuh berjalan."
-Yogyakarta, 14 Januari 2014.
No comments:
Post a Comment