Wanita
Ber-siluet Monroe dan Lelaki Charlie Glowd
Oleh: Aldyan Bopa
Aku tidak pernah
bosan melihat pria itu memetik satu demi satu senar gitarnya dengan tempo yang
teratur, sembari menyanyikan lagu akustik pelan agar menambah kesan klasik di kafe
ini. Dengan sesekali aku meniup-niupkan asap yang mengepul di atas cangkir kopi
bali yang panas dan mencoba menyeruputnya dengan hati-hati. Sesekali kepala dan
pundakku ikut bergoyang mengikuti ketukan musik akustik yang dimainkan pria di
atas panggung tersebut. Lagunya selalu asik, suaranya lembut, namun, tetap
tegas. Tak pernah membosankan. Maka dari itu, aku menjadikan kafe ini tempat
untuk melepas penat.
Aku menjulurkan tanganku ke atas sambil menatap salah satu barista yang berdiri di balik meja bar. Dengan senyumnya, ia segera menghampiriku,
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Barista itu dengan sedikit membungkukan tubuhnya.
"Saya mau ice cream Americano Tiramissu, satu mangkuk sedang."
Barista tersebut mengeluarkan bloknote dari dalam sakunya, dan menulis pesananku dengan pulpen hitamnya, "Ada tambahan lainnya, Mas?"
"Itu saja dulu, ya." Aku melemparkan senyum kepada Barista wanita itu yang kutaksir umurnya sekitar dua puluh dua tahun.
"Iya, Mas. Pesanan segera kami antar." Ia langsung beranjak pergi menuju meja Bar dan menghilang tertutup pintu dapur kafe.
Suara decitan pintu kafe, membuatku menoleh ke arahnya. Terlihat wanita muda menggunakan t-shirt putih bergambar siluet Marylin Monroe, serta, perempuan kecil yang berumur sekitar 5 tahun memasuki ruang kafe. Mereka berjalan menuju meja bar, seperti memesan sesuatu. Lalu, mereka duduk di meja dekat dengan panggung. Tidak terlalu dekat, yang pasti, berada di tengah-tengah meja yang lain. Aku perhatikan dari gelagat mereka, aku menerka, kalau mereka adalah adik-kakak yang umurnya lumayan berbeda jauh. Tidak mungkin kalau wanita itu, adalah sepupu dari anak itu. Zaman sekarang, tidak ada sepupu yang begitu "niat" mengajak saudaranya main ke kafe, kan?
Ibu dan Anak? Lebih bodoh dan tidak masuk akal. Mana mungkin wanita yang kira-kira umurnya baru sembilan belas tahun, sudah memiliki anak yang kira-kira juga berumur empat tahun? Ya, adik-kakak lebih tepat.
Penyelidikanku harus terhenti karena Barista datang dengan membawa Americano Tiramissu kesukaanku.
"Terimakasih." Kataku kepada Barista itu.
Dengan sigap, aku menyendokan ice cream-ku dengan sendok kecil yang sudah disiapkan di meja. Dan aku masukan ke mulutku..
Aku mengaduk-aduk mangkuk ice cream hingga semuanya berwarna coklat muda. Menurutku, tiramissu yang diaduk rata itu, rasanya lebih eksotis daripada yang dinikmati secara baku.
"Lama, aku bosan." Suara dari anak kecil yang artikulasinya belum terlalu sempurna. Anak kecil yang aku anggap adik dari wanita itu.
Suara anak itu terdengar tidak terlalu keras, tapi, aku menangkapnya dengan baik. Kakaknya menjawab dengan sangat pelan.
Bosan... Kata anak itu. Wajar, sebenarnya, anak kecil mengeluh seperti itu. Anak seumurannya memang tidak pernah mau berlama-lama dituntut diam tidak bersuara. Namun, kakaknya, tetap sibuk menyuapkan sendok demi sendok Ice Cream ke mulut adiknya dan mulutnya sendiri. Raut wajah Adiknya masih sedikit masam, dengan mulut kecilnya sibuk mengolah ice cream didalamnya.
Sesekali, Wanita itu mengecup kening dan pipi adiknya.
"Ini dia, please welcome, Aryo Bagas! Musisi tampan dari solo!"
Sambut MC yang hampir tiap harinya membawakan acara musik di kafe ini. Hanya dia, satu hal yang membosankan dari kafe ini. Caranya membawakan acara, sangat monoton, apalagi, kata-katanya, klise dan basi! Dengan gayanya yang "sok tampan", mengenakan kemeja kotak-kotak yang kancingnya dipasang sampai atas, mungkin baginya, ia merasa tampan dengan itu. Tapi, Bagiku, itu menjijikan.
Musisi itu menaiki anak tangga untuk mencapai permukaan panggung.
"Halo, semua. Perkenalkan, saya Aryo. Biasa tampil di beberapa kafe dan event di Solo. Untuk Jogja, baru kali ini, di kafe ini. Sekarang, saya ingin membawakan lagu Grenade milik Bruno Mars." Ia mempertegas duduknya di atas kursi yang berlapis kulit berwarna hitam, dengan menyempurnakan posisi gitarnya.
Jari-jarinya mulai menari memetik senar gitarnya, memainkan intro sebelum masuk ke lagu inti. Americano Tiramissu sudah habis aku santap dengan antusiasnya sedari tadi, namun, permainan musik dari Aryo ini begitu menarik, menahanku untuk segera pulang.
Untuk kedua kalinya, aku menjulurkan tanganku ke arah barista yang ada di meja bar,
"Minta bil-nya, Mbak."
Barista datang dengan membawa secarik kwitansi, di atasnya tertera nominal Rp 28.000 , dan aku langsung membayar tunai.
Di sudut mata, terlihat wanita tadi memutar badannya dan menatap pria yang bernama Aryo itu dengan tatapan yang begitu datar. Serta, adiknya, menatap Aryo dengan tawanya yang kecil. Dengan khidmat, aku memandangi wajah wanita itu, rambutnya panjang bergelombang, hidungnya mancung dan kulitnya putih bersih. Begitu pun adiknya, cantik dan lucu.
Mata Aryo memandang mata wanita itu, kala ia bernyanyi dilirik,
"I'd catch a grenade for ya,
Throw my hand on the blade for ya,
I'd jump in front of a train for ya,
You know I'd do anything for ya.
Oh ho,
I would go through all this pain,
Take a bullet straight through my brain,
Yes, I would die for you, baby
But you won't do the same"
Untuk beberapa detik, mereka bertukar pandang. Namun, wanita itu mencoba melepasnya, dan ia melemparkannya ke arah yang lain, ke arahku. Ya, tepat ke arahku yang sedang bodoh memandangnya lekat-lekat.. Dia menyadari itu, wajahku merah. Dia tersenyum, sangat manis ke arahku. Aku membalasnya dengan senyum yang ragu dan tidak yakin. Aku mengutuk diriku yang dengan cerobohnya memandanginya hingga ketahuan.
Sampai lagu habis, aku hanya menunduk ke arah lantai, menyayangkan insiden tadi. Aku mengalami kesalahtingkahan yang tinggi, aku mencoba sedikit demi sedikit mencuri pandang ke arahnya, namun, sepertinya ia masih memperhatikanku. Jantungku serasa sedang senam pagi seperti ibu-ibu komplek, berdebar tidak karuan. Ada apa denganku? Aku suka dengan wanita itu? Atau bahkan, aku jatuh cinta?
Tiba-tiba saja, aroma parfum Charlie Glowd begitu jelas tercium di ujung hidungku.
Aryo, dia telah selesai dengan lagunya dan duduk tepat di kursi sebelahku. Begitu aku menatapnya, Aryo langsung tersenyum. Dan, wanita itu, menatap ke arahku, tepatnya, ke Aryo. Namun, Aryo berusaha tidak menengok ke arahnya.
Ah, sudah, lah. Yang punya mata, kan, mereka. Kenapa aku yang sibuk?
"Ice Cream Peach Melba Italiano, mangkuk sedang, satu." Katanya, kepada seorang barista yang menghampirinya.
Dia memasukan gitar CG171-nya ke dalam tas gitar miliknya. Lalu, merogoh kantong blue jeans-nya, dan mengeluarkan kotak rokok,
"Ngerokok, Mas?" Tanyanya kepadaku, sambil menjulurkan tangannya yang memegang kotak rokok.
"Enggak, Mas." Jawabku, singkat. Sambil memberikan senyum penghargaan.
"Wanita itu, temannya Mas?" Tanyanya sambil menyulut ujung rokoknya dengan cricket. Ia menunjuk wanita yang sedari tadi aku perhatikan, dan tadi pula membuatku salah tingkah tidak karuan.
Aku menoleh ke arah wanita itu, "Oh, bukan, Mas."
"Oh, iya-iya."
Kemudian, percakapan dadakan kami mulai membeku dengan bisu, ia sibuk menghisap dan menghebuskan asap rokoknya. Sebenarnya, aku benci dengan orang yang merokok di dekatku. Tapi, aku coba bertahan, berharap Aryo menjelaskan tentang wanita itu. Karena, aku cukup paham dengan bahasa tubuh yang mereka tunjukan sedari tadi. Bagaikan embun sembunyi dalam tanah. Ada sesuatu yang mereka tutup dari pengunjung kafe.
Aryo berjalan ke meja bar, terlihat ia dengan barista yang ada disana sedang bercakap-cakap. Tidak lama, Wanita itu berdiri dari tempatnya, berjalan menuju meja bar. Meninggalkan adiknya. Wanita itu menepuk pundak tegas Aryo, dan Aryo terlihat gugup.
Sekitar sepuluh menit mereka berbincang serius, sesekali, mata Aryo meruncing menatap mata Wanita itu. Dan sesekali, telunjuk Wanita itu menunjuk batang hidung lelaki itu, sesekali pula Wanita itu menunjuk ke arah adiknya yang asyik bermain ponsel miliknya.
"Sudahlah!" Terdengar sedikit bentakan Aryo sambil mengehentakkan tangannya ke atas. Lalu, ia berjalan dengan cepat ke arah mejaku dan mengambil tas gitarnya. Ia pergi keluar meninggalkan kafe.
Sementara itu, Wanita tadi berjalan menuju mejanya dengan mata yang sedikit berlinang air mata. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi antara pria musisi itu dengan seorang Wanita yang membawa Adiknya ke Kafe. Aku berdiri dari tempat dudukku, memberanikan diri untuk menghampiri Wanita itu untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi,
"Hai, kenapa? Aku sempat berbicara dengan temanmu tadi, sedikit." Tanyaku dengan gugup kepadanya, yang sibuk mencegat air matanya agar tidak tumpah terlalu banyak.
"Enggak, Mas. Enggak kenapa-napa." Suaranya bergetar, nafasnya memburu. Setiap buruan nafasnya, terdengar isakannya yang jelas. "Maaf kalau pertengkaran kami mengganggu kenyamanan Mas."
"Pertengkaran? Kalian bertengkar?"
"Maksduku.. Emm... Ya, begitu, lah." Ia memandangi adiknya dan mengelus rambut tipis adiknya itu dengan tangan kanannya.
"Semenjak Aryo, eh, Aryo, kan, Namanya? Semenjak dia bernyanyi tadi, aku lihat kalian saling menatap satu sama lain. Dari situ, aku bisa tahu, kalau kalian berdua ada kaitannya." Jelasku, sok tahu.
"Bisa dikatakan begitu, Mas. Sebenarnya.." Ia menatap Adiknya lagi, "Mas kira, ini siapa?" Yang ia maksud, Adiknya.
"Adikmu, kan?"
Ia tersenyum, "Bukan, dia anakku, Mas."
Aku menelan ludah, ingin rasanya aku ambil linggis dan mengorek-orek telingaku. Apa aku salah dengar? Apa? Dia bilang itu anaknya? Ya Tuhan, Wanita yang ada di hadapanku ini, mungkin baru berusia sembilan belas tahun. Wajahnya saja masih manis-manis remaja SMA.
"Kecelakaan, Mas." Air matanya mulai turun kembali, tapi, ia hias bulir bening itu dengan senyum cantiknya.
"Paksaan?" Tanyaku.
"Ya, waktu ulang tahun dia, lima tahun lalu. Dia memaksaku. Setelah ia luapkan semua hawa nafsunya kepadaku, ia pergi entah kemana."
"Ia pergi tepatnya setelah tahu, kalau aku mengandung Prisil."
Prisil, nama anak kecil yang dari tadi aku anggap Adiknya. Hatiku mulai berdebar semakin kencang. Jari, telapak, dan tanganku sudah membentuk tinju yang keras dan tegas. Tega-teganya Aryo menghancurkan masa depan gadis belia nan cantik ini dengan nafsunya. Kalau aku tahu cerita ini dari awal, sudah aku pastikan wajah Aryo yang bersih itu, akan seperti lantai Metro Mini. Hancur berantakan aku tumbuk habis.
"Bagaimana dengan orang tuamu?" Suaraku bergetar.
"Aku sudah tidak tinggal di rumah. Papa dan Mama sudah tidak mau mengakuiku. Saat ini, aku tinggal dengan Tanteku. Di daerah Kotagede. Aku selalu berusaha menghubungi Aryo untuk menikahiku, tapi, ia selalu menghindar. Kedatangannya ke Jogja, aku tahu dari temannya."
Lelaki keparat, sudah asyik menghancurkan seseorang, ia pergi begitu saja. Jelas-jelas saat ini ia melihat anaknya sendiri yang daritadi mengulum Ice Cream dan bermain game di ponsel. Tetap saja menghindar! Andaikan ia kembali lagi ke kafe ini, atau setidaknya aku bertemu lagi dengan Aryo. Akan aku buat sekarat dia kalau masih tidak mempertanggung jawabkan perlakuannya.
Setelah mengetahui semuanya, aku memutuskan sesuatu, wanita muda yang mengenakan kaus putih bersiluet Marylin Monroe ini, lebih pantas aku kasihani dan aku semangati. Bahkan, membantunya keluar dari zona sulitnya.
Aku menjulurkan tanganku ke atas sambil menatap salah satu barista yang berdiri di balik meja bar. Dengan senyumnya, ia segera menghampiriku,
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Barista itu dengan sedikit membungkukan tubuhnya.
"Saya mau ice cream Americano Tiramissu, satu mangkuk sedang."
Barista tersebut mengeluarkan bloknote dari dalam sakunya, dan menulis pesananku dengan pulpen hitamnya, "Ada tambahan lainnya, Mas?"
"Itu saja dulu, ya." Aku melemparkan senyum kepada Barista wanita itu yang kutaksir umurnya sekitar dua puluh dua tahun.
"Iya, Mas. Pesanan segera kami antar." Ia langsung beranjak pergi menuju meja Bar dan menghilang tertutup pintu dapur kafe.
Suara decitan pintu kafe, membuatku menoleh ke arahnya. Terlihat wanita muda menggunakan t-shirt putih bergambar siluet Marylin Monroe, serta, perempuan kecil yang berumur sekitar 5 tahun memasuki ruang kafe. Mereka berjalan menuju meja bar, seperti memesan sesuatu. Lalu, mereka duduk di meja dekat dengan panggung. Tidak terlalu dekat, yang pasti, berada di tengah-tengah meja yang lain. Aku perhatikan dari gelagat mereka, aku menerka, kalau mereka adalah adik-kakak yang umurnya lumayan berbeda jauh. Tidak mungkin kalau wanita itu, adalah sepupu dari anak itu. Zaman sekarang, tidak ada sepupu yang begitu "niat" mengajak saudaranya main ke kafe, kan?
Ibu dan Anak? Lebih bodoh dan tidak masuk akal. Mana mungkin wanita yang kira-kira umurnya baru sembilan belas tahun, sudah memiliki anak yang kira-kira juga berumur empat tahun? Ya, adik-kakak lebih tepat.
Penyelidikanku harus terhenti karena Barista datang dengan membawa Americano Tiramissu kesukaanku.
"Terimakasih." Kataku kepada Barista itu.
Dengan sigap, aku menyendokan ice cream-ku dengan sendok kecil yang sudah disiapkan di meja. Dan aku masukan ke mulutku..
Aku mengaduk-aduk mangkuk ice cream hingga semuanya berwarna coklat muda. Menurutku, tiramissu yang diaduk rata itu, rasanya lebih eksotis daripada yang dinikmati secara baku.
"Lama, aku bosan." Suara dari anak kecil yang artikulasinya belum terlalu sempurna. Anak kecil yang aku anggap adik dari wanita itu.
Suara anak itu terdengar tidak terlalu keras, tapi, aku menangkapnya dengan baik. Kakaknya menjawab dengan sangat pelan.
Bosan... Kata anak itu. Wajar, sebenarnya, anak kecil mengeluh seperti itu. Anak seumurannya memang tidak pernah mau berlama-lama dituntut diam tidak bersuara. Namun, kakaknya, tetap sibuk menyuapkan sendok demi sendok Ice Cream ke mulut adiknya dan mulutnya sendiri. Raut wajah Adiknya masih sedikit masam, dengan mulut kecilnya sibuk mengolah ice cream didalamnya.
Sesekali, Wanita itu mengecup kening dan pipi adiknya.
"Ini dia, please welcome, Aryo Bagas! Musisi tampan dari solo!"
Sambut MC yang hampir tiap harinya membawakan acara musik di kafe ini. Hanya dia, satu hal yang membosankan dari kafe ini. Caranya membawakan acara, sangat monoton, apalagi, kata-katanya, klise dan basi! Dengan gayanya yang "sok tampan", mengenakan kemeja kotak-kotak yang kancingnya dipasang sampai atas, mungkin baginya, ia merasa tampan dengan itu. Tapi, Bagiku, itu menjijikan.
Musisi itu menaiki anak tangga untuk mencapai permukaan panggung.
"Halo, semua. Perkenalkan, saya Aryo. Biasa tampil di beberapa kafe dan event di Solo. Untuk Jogja, baru kali ini, di kafe ini. Sekarang, saya ingin membawakan lagu Grenade milik Bruno Mars." Ia mempertegas duduknya di atas kursi yang berlapis kulit berwarna hitam, dengan menyempurnakan posisi gitarnya.
Jari-jarinya mulai menari memetik senar gitarnya, memainkan intro sebelum masuk ke lagu inti. Americano Tiramissu sudah habis aku santap dengan antusiasnya sedari tadi, namun, permainan musik dari Aryo ini begitu menarik, menahanku untuk segera pulang.
Untuk kedua kalinya, aku menjulurkan tanganku ke arah barista yang ada di meja bar,
"Minta bil-nya, Mbak."
Barista datang dengan membawa secarik kwitansi, di atasnya tertera nominal Rp 28.000 , dan aku langsung membayar tunai.
Di sudut mata, terlihat wanita tadi memutar badannya dan menatap pria yang bernama Aryo itu dengan tatapan yang begitu datar. Serta, adiknya, menatap Aryo dengan tawanya yang kecil. Dengan khidmat, aku memandangi wajah wanita itu, rambutnya panjang bergelombang, hidungnya mancung dan kulitnya putih bersih. Begitu pun adiknya, cantik dan lucu.
Mata Aryo memandang mata wanita itu, kala ia bernyanyi dilirik,
"I'd catch a grenade for ya,
Throw my hand on the blade for ya,
I'd jump in front of a train for ya,
You know I'd do anything for ya.
Oh ho,
I would go through all this pain,
Take a bullet straight through my brain,
Yes, I would die for you, baby
But you won't do the same"
Untuk beberapa detik, mereka bertukar pandang. Namun, wanita itu mencoba melepasnya, dan ia melemparkannya ke arah yang lain, ke arahku. Ya, tepat ke arahku yang sedang bodoh memandangnya lekat-lekat.. Dia menyadari itu, wajahku merah. Dia tersenyum, sangat manis ke arahku. Aku membalasnya dengan senyum yang ragu dan tidak yakin. Aku mengutuk diriku yang dengan cerobohnya memandanginya hingga ketahuan.
Sampai lagu habis, aku hanya menunduk ke arah lantai, menyayangkan insiden tadi. Aku mengalami kesalahtingkahan yang tinggi, aku mencoba sedikit demi sedikit mencuri pandang ke arahnya, namun, sepertinya ia masih memperhatikanku. Jantungku serasa sedang senam pagi seperti ibu-ibu komplek, berdebar tidak karuan. Ada apa denganku? Aku suka dengan wanita itu? Atau bahkan, aku jatuh cinta?
Tiba-tiba saja, aroma parfum Charlie Glowd begitu jelas tercium di ujung hidungku.
Aryo, dia telah selesai dengan lagunya dan duduk tepat di kursi sebelahku. Begitu aku menatapnya, Aryo langsung tersenyum. Dan, wanita itu, menatap ke arahku, tepatnya, ke Aryo. Namun, Aryo berusaha tidak menengok ke arahnya.
Ah, sudah, lah. Yang punya mata, kan, mereka. Kenapa aku yang sibuk?
"Ice Cream Peach Melba Italiano, mangkuk sedang, satu." Katanya, kepada seorang barista yang menghampirinya.
Dia memasukan gitar CG171-nya ke dalam tas gitar miliknya. Lalu, merogoh kantong blue jeans-nya, dan mengeluarkan kotak rokok,
"Ngerokok, Mas?" Tanyanya kepadaku, sambil menjulurkan tangannya yang memegang kotak rokok.
"Enggak, Mas." Jawabku, singkat. Sambil memberikan senyum penghargaan.
"Wanita itu, temannya Mas?" Tanyanya sambil menyulut ujung rokoknya dengan cricket. Ia menunjuk wanita yang sedari tadi aku perhatikan, dan tadi pula membuatku salah tingkah tidak karuan.
Aku menoleh ke arah wanita itu, "Oh, bukan, Mas."
"Oh, iya-iya."
Kemudian, percakapan dadakan kami mulai membeku dengan bisu, ia sibuk menghisap dan menghebuskan asap rokoknya. Sebenarnya, aku benci dengan orang yang merokok di dekatku. Tapi, aku coba bertahan, berharap Aryo menjelaskan tentang wanita itu. Karena, aku cukup paham dengan bahasa tubuh yang mereka tunjukan sedari tadi. Bagaikan embun sembunyi dalam tanah. Ada sesuatu yang mereka tutup dari pengunjung kafe.
Aryo berjalan ke meja bar, terlihat ia dengan barista yang ada disana sedang bercakap-cakap. Tidak lama, Wanita itu berdiri dari tempatnya, berjalan menuju meja bar. Meninggalkan adiknya. Wanita itu menepuk pundak tegas Aryo, dan Aryo terlihat gugup.
Sekitar sepuluh menit mereka berbincang serius, sesekali, mata Aryo meruncing menatap mata Wanita itu. Dan sesekali, telunjuk Wanita itu menunjuk batang hidung lelaki itu, sesekali pula Wanita itu menunjuk ke arah adiknya yang asyik bermain ponsel miliknya.
"Sudahlah!" Terdengar sedikit bentakan Aryo sambil mengehentakkan tangannya ke atas. Lalu, ia berjalan dengan cepat ke arah mejaku dan mengambil tas gitarnya. Ia pergi keluar meninggalkan kafe.
Sementara itu, Wanita tadi berjalan menuju mejanya dengan mata yang sedikit berlinang air mata. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi antara pria musisi itu dengan seorang Wanita yang membawa Adiknya ke Kafe. Aku berdiri dari tempat dudukku, memberanikan diri untuk menghampiri Wanita itu untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi,
"Hai, kenapa? Aku sempat berbicara dengan temanmu tadi, sedikit." Tanyaku dengan gugup kepadanya, yang sibuk mencegat air matanya agar tidak tumpah terlalu banyak.
"Enggak, Mas. Enggak kenapa-napa." Suaranya bergetar, nafasnya memburu. Setiap buruan nafasnya, terdengar isakannya yang jelas. "Maaf kalau pertengkaran kami mengganggu kenyamanan Mas."
"Pertengkaran? Kalian bertengkar?"
"Maksduku.. Emm... Ya, begitu, lah." Ia memandangi adiknya dan mengelus rambut tipis adiknya itu dengan tangan kanannya.
"Semenjak Aryo, eh, Aryo, kan, Namanya? Semenjak dia bernyanyi tadi, aku lihat kalian saling menatap satu sama lain. Dari situ, aku bisa tahu, kalau kalian berdua ada kaitannya." Jelasku, sok tahu.
"Bisa dikatakan begitu, Mas. Sebenarnya.." Ia menatap Adiknya lagi, "Mas kira, ini siapa?" Yang ia maksud, Adiknya.
"Adikmu, kan?"
Ia tersenyum, "Bukan, dia anakku, Mas."
Aku menelan ludah, ingin rasanya aku ambil linggis dan mengorek-orek telingaku. Apa aku salah dengar? Apa? Dia bilang itu anaknya? Ya Tuhan, Wanita yang ada di hadapanku ini, mungkin baru berusia sembilan belas tahun. Wajahnya saja masih manis-manis remaja SMA.
"Kecelakaan, Mas." Air matanya mulai turun kembali, tapi, ia hias bulir bening itu dengan senyum cantiknya.
"Paksaan?" Tanyaku.
"Ya, waktu ulang tahun dia, lima tahun lalu. Dia memaksaku. Setelah ia luapkan semua hawa nafsunya kepadaku, ia pergi entah kemana."
"Ia pergi tepatnya setelah tahu, kalau aku mengandung Prisil."
Prisil, nama anak kecil yang dari tadi aku anggap Adiknya. Hatiku mulai berdebar semakin kencang. Jari, telapak, dan tanganku sudah membentuk tinju yang keras dan tegas. Tega-teganya Aryo menghancurkan masa depan gadis belia nan cantik ini dengan nafsunya. Kalau aku tahu cerita ini dari awal, sudah aku pastikan wajah Aryo yang bersih itu, akan seperti lantai Metro Mini. Hancur berantakan aku tumbuk habis.
"Bagaimana dengan orang tuamu?" Suaraku bergetar.
"Aku sudah tidak tinggal di rumah. Papa dan Mama sudah tidak mau mengakuiku. Saat ini, aku tinggal dengan Tanteku. Di daerah Kotagede. Aku selalu berusaha menghubungi Aryo untuk menikahiku, tapi, ia selalu menghindar. Kedatangannya ke Jogja, aku tahu dari temannya."
Lelaki keparat, sudah asyik menghancurkan seseorang, ia pergi begitu saja. Jelas-jelas saat ini ia melihat anaknya sendiri yang daritadi mengulum Ice Cream dan bermain game di ponsel. Tetap saja menghindar! Andaikan ia kembali lagi ke kafe ini, atau setidaknya aku bertemu lagi dengan Aryo. Akan aku buat sekarat dia kalau masih tidak mempertanggung jawabkan perlakuannya.
Setelah mengetahui semuanya, aku memutuskan sesuatu, wanita muda yang mengenakan kaus putih bersiluet Marylin Monroe ini, lebih pantas aku kasihani dan aku semangati. Bahkan, membantunya keluar dari zona sulitnya.
Setelah mengetahui
semuanya, aku memutuskan sesuatu, wanita muda yang mengenakan kaus putih
bersiluet Marylin Monroe ini, lebih pantas aku kasihani dan aku semangati. Aku tidak boleh, atau bahkan, aku tidak mau
jatuh cinta dengan wanita ini. Walaupun fisiknya, telah memikatku dari awal ia
membuka pintu kafe. Namun, aku butuh wanita yang masih asli.
No comments:
Post a Comment