Teruntuk Nadhil,
Bagaimana kabarmu? Aku harap senyummu masih tetap terukir disana dan ku harap kaupun sehat selalu. Oh, iya, disini jauh lebih dingin dari yang kau katakan kala itu; Paris lumayan dingin. Kenyataannya, disini amatlah dingin, Nad. Begini, selagi aku sedang di Musee d'Orsay dan
tempatnya lumayan hangat, aku menyempatkan menulis ini untukmu. Jadi, jangan kau buang surat ini. Dan, Ah, Aku ingat sekali saat kau mengirim pesan singkat yang mengingatkanku untuk membawa jaket tebal, syal, kupluk serta sarung tangan. Dan akupun ingat, aku membacanya dengan senyuman nakal. Itu adalah pesan singkat yang kau kirim sebelum kejadian di kedai donat saat itu, sebelum kau menamparku di depan pintu kedai, sebelum semuanya berakhir.
Dengan surat ini, aku membawa sesuatu dari Paris yang dingin; Cinta yang masih hangat untukmu, Nadhil. Percayalah, gadis itu bukan tujuanku. Dia itu Tra, teman semasa SMA ku dulu. Memang begitu
sikapnya, pecicilan dan seenaknya. Bukan hanya pipiku yang sering ia cium, teman-temanku sudah sangat sering ia cium. Saat itu, dia hanya memberi tahuku, tempat-tempat eksotis di Paris, seperti Louvre, Notre Dame de Paris dan Jardin du Luxembourg. Selesai dari hal itu, kami berjalan keluar dari kedai dan aku lihat sosok mu di depan pintu.. Ya, seperti yang kau lihat, Tra menciumku dengan cepat dan tiba-tiba, lalu, ia lari dan pergi. Aku lihat kedua matamu terbelalak, nafasmu memburu dan ya, tamparan pedihmu mendarat tepat di pipi yang baru saja Tra cium. Kau berteriak,
Bagaimana kabarmu? Aku harap senyummu masih tetap terukir disana dan ku harap kaupun sehat selalu. Oh, iya, disini jauh lebih dingin dari yang kau katakan kala itu; Paris lumayan dingin. Kenyataannya, disini amatlah dingin, Nad. Begini, selagi aku sedang di Musee d'Orsay dan
tempatnya lumayan hangat, aku menyempatkan menulis ini untukmu. Jadi, jangan kau buang surat ini. Dan, Ah, Aku ingat sekali saat kau mengirim pesan singkat yang mengingatkanku untuk membawa jaket tebal, syal, kupluk serta sarung tangan. Dan akupun ingat, aku membacanya dengan senyuman nakal. Itu adalah pesan singkat yang kau kirim sebelum kejadian di kedai donat saat itu, sebelum kau menamparku di depan pintu kedai, sebelum semuanya berakhir.
Dengan surat ini, aku membawa sesuatu dari Paris yang dingin; Cinta yang masih hangat untukmu, Nadhil. Percayalah, gadis itu bukan tujuanku. Dia itu Tra, teman semasa SMA ku dulu. Memang begitu
sikapnya, pecicilan dan seenaknya. Bukan hanya pipiku yang sering ia cium, teman-temanku sudah sangat sering ia cium. Saat itu, dia hanya memberi tahuku, tempat-tempat eksotis di Paris, seperti Louvre, Notre Dame de Paris dan Jardin du Luxembourg. Selesai dari hal itu, kami berjalan keluar dari kedai dan aku lihat sosok mu di depan pintu.. Ya, seperti yang kau lihat, Tra menciumku dengan cepat dan tiba-tiba, lalu, ia lari dan pergi. Aku lihat kedua matamu terbelalak, nafasmu memburu dan ya, tamparan pedihmu mendarat tepat di pipi yang baru saja Tra cium. Kau berteriak,
"Kita selesai!" Hingga perhatian pengunjung kedai tertuju
kepada kita berdua. Kau tahu? Tamparan itu sangat panas dan membekas sampai
saat ini, hingga menghangatkanku di dinginnya kota Paris. Malam harinya, ketika
hujan deras kala itu, aku berdiri depan rumahmu sembari membawa bunga mawar
merah dalam genggamanku, aku menangis dibawah guyuran hujan lebat memintamu
untuk turun dan keluar dari rumah, lalu, bersedia memaafkanku. Tetapi, kau
malah menutup gordyn jendelamu rapat-rapat dan memadamkan lampu kamarmu. Haha,
lupakan, lah. Aku mengerti perasaanmu kala itu.
Sepertinya, kau memang sangat marah, ya? Sampai-sampai, aku tidak menemukan sosokmu di Terminal 2D Soekarno-Hatta saat aku ingin terbang ke Charles de Gaulle Airport, Paris.
Aku mohon, Nadhil, maafkan aku. Bukan aku yang menginginkan kecup itu. Ini tidak seperti apa yang kau fikirkan. Aku hanya mencintai dan menginginkanmu, Nad. Aku baru saja memilikimu dua bulan saja, aku ingin lebih lama memilikimu atau bahkan, selamanya. Lupakan kecupan itu. Kembalilah
padaku. Kau ingin aku menjauhi Tra? Ya! Akan aku lakukan. Kau jauh lebih berarti dari apapun, aku lelah mencari cinta-cinta yang lain. Aku merasa nyaman denganmu dan aku akan berjuang demi kau. Kembalilah kepadaku, Nadhil, dan aku akan membawamu ke Paris, kita telusuri Sungai Seine dengan Kapal Layar, lalu, kita mampir ke Ponts des Arts jembatan yang terdapat banyak gembok cinta, bagaimana? Aku tahu, kau sangat menyukai itu. Kau mau memaafkan aku, kan, Nad? Sungguh, hanya dirimu yang aku cinta.
Tidak ada wanita yang dapat menandingimu, di Paris pun, tidak ada.
Kiranya, hanya ini yang bisa aku tulis untukmu. Aku ditunggu Monsieur Polski dan Maddame Lousie untuk makan malam di dekat Eiffel. Aku tunggu balasanmu dari Bogor.
Merci bien, J T'aime.
Kasihmu . d'Orsay, Paris, 12 février 2014
Bopa.
Sepertinya, kau memang sangat marah, ya? Sampai-sampai, aku tidak menemukan sosokmu di Terminal 2D Soekarno-Hatta saat aku ingin terbang ke Charles de Gaulle Airport, Paris.
Aku mohon, Nadhil, maafkan aku. Bukan aku yang menginginkan kecup itu. Ini tidak seperti apa yang kau fikirkan. Aku hanya mencintai dan menginginkanmu, Nad. Aku baru saja memilikimu dua bulan saja, aku ingin lebih lama memilikimu atau bahkan, selamanya. Lupakan kecupan itu. Kembalilah
padaku. Kau ingin aku menjauhi Tra? Ya! Akan aku lakukan. Kau jauh lebih berarti dari apapun, aku lelah mencari cinta-cinta yang lain. Aku merasa nyaman denganmu dan aku akan berjuang demi kau. Kembalilah kepadaku, Nadhil, dan aku akan membawamu ke Paris, kita telusuri Sungai Seine dengan Kapal Layar, lalu, kita mampir ke Ponts des Arts jembatan yang terdapat banyak gembok cinta, bagaimana? Aku tahu, kau sangat menyukai itu. Kau mau memaafkan aku, kan, Nad? Sungguh, hanya dirimu yang aku cinta.
Tidak ada wanita yang dapat menandingimu, di Paris pun, tidak ada.
Kiranya, hanya ini yang bisa aku tulis untukmu. Aku ditunggu Monsieur Polski dan Maddame Lousie untuk makan malam di dekat Eiffel. Aku tunggu balasanmu dari Bogor.
Merci bien, J T'aime.
Kasihmu . d'Orsay, Paris, 12 février 2014
Bopa.
(*)Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukmantan novel Bernard Batubara.
Suka, haha
ReplyDeleteSukses ya